Iklan

Stop Adu Domba Sains dan Agama: Begini Cara Filsafat Ilmu Menengahi Perdebatan Abadi Ini

Rabu, 17 Desember 2025, 22.37 WIB Last Updated 2025-12-17T15:37:18Z


Artikel - Kita sering melihatnya. Di kolom komentar media sosial atau grup diskusi keluarga, perdebatan sengit tentang sains dan agama seolah tak pernah usai. Ada yang ngotot menggunakan ayat suci untuk membantah temuan ilmiah, ada pula yang memakai data laboratorium untuk menegaskan bahwa Tuhan itu tidak ada.

Perdebatan ini seringkali melelahkan dan tak menghasilkan apa-apa. Kenapa? Karena pada dasarnya, kita salah paham soal fungsi dan batasan masing-masing. Di sinilah Filsafat Ilmu hadir sebagai penengah yang bijak, menawarkan pemahaman bahwa dua sistem pengetahuan ini sebenarnya tidak perlu saling "adu domba."


Sains: Menjawab "Bagaimana?"


Apa itu sains? Sederhananya, sains adalah metode mencari pengetahuan yang harus bisa diuji, diamati, diukur, dan diulang. Tujuannya tunggal: menjawab pertanyaan "Bagaimana?"


Bagaimana gravitasi bekerja? Bagaimana virus bereplikasi? Bagaimana alam semesta terbentuk?


Sains sangat hebat di ranahnya—dunia yang material dan kasat mata. Namun, metode ilmiah punya keterbatasan krusial: ia tidak punya alat untuk mengukur hal-hal non-material atau transenden, seperti roh, etika, atau makna hidup. Sains akan angkat tangan ketika ditanya, "Mengapa kita ada?"


Agama: Menjawab "Mengapa?" dan "Harus Bagaimana?"


Sebaliknya, pengetahuan religius dibangun di atas Wahyu, Iman, dan Pengalaman Spiritual. Ranah ini tidak peduli pada pengukuran, tetapi pada makna dan nilai.


Agama menjawab pertanyaan "Mengapa?" (Apa tujuan hidup kita?) dan "Harus Bagaimana?" (Bagaimana kita harus bersikap etis?). Fokusnya adalah pada moralitas, tujuan akhir, dan dimensi spiritual. Inilah magisterium (ranah otoritas) agama, yang tidak bisa dimasuki oleh mikroskop atau teleskop.


Filsafat Ilmu dan Solusi NOMA


Filsafat Ilmu, khususnya melalui konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA) yang dipopulerkan oleh Stephen Jay Gould, mengajarkan kita untuk menghormati batasan ini.


Magisterium Sains mengurus fakta empiris alam semesta (apa yang ada).


Magisterium Agama mengurus makna dan nilai (apa yang seharusnya).


Konflik hanya muncul ketika salah satu melanggar ranah yang lain. Misalnya, ilmuwan yang melompat dari data otak ke kesimpulan absolut bahwa "Tuhan tidak ada" sudah melangkahi ranah makna. Sebaliknya, tokoh agama yang menolak bukti evolusi yang teruji secara empiris hanya karena interpretasi literal, berarti melanggar ranah fakta ilmiah.


Jalan Keluar yang Lebih Bijak


Filsafat Ilmu mengajak kita untuk menjadi pribadi yang lebih bijak dan komprehensif.


Stop memaksakan jawaban sains pada pertanyaan agama, dan sebaliknya.


Gunakan sains untuk memahami cara kerja dunia material di sekitar Anda. Gunakan agama (atau filsafat moral) untuk memahami tujuan dan nilai hidup Anda. Dengan mengakui batasan masing-masing, kita dapat mencapai pemahaman realitas yang jauh lebih kaya—satu mata melihat fakta, mata yang lain melihat makna. Mari berhenti saling adu domba, dan mulai saling melengkapi.


Penulis:

Nama: Hasanuddin Reza Sukandi

Prodi : S2 Pendidikan Matematika

Kampus : Universitas Pendidikan Indonesia

Komentar

Tampilkan

  • Stop Adu Domba Sains dan Agama: Begini Cara Filsafat Ilmu Menengahi Perdebatan Abadi Ini
  • 0

Terkini

Topik Populer

Sport