Iklan

Antara Mitos dan Sains: Cara Baru Melihat Pamali Lewat Kacamata Filsafat Ilmu

Senin, 01 Desember 2025, 11.49 WIB Last Updated 2025-12-01T04:51:26Z


Artikel - Setiap orang Indonesia pasti pernah dengar pamali. Larangan-larangan yang sering dibumbui cerita seram, seperti:;;


“Jangan duduk di atas bantal, nanti bisulan.”


“Jangan main di sungai waktu magrib.”


“Jangan pulang terlalu malam, nanti diikuti makhluk halus.”


Buat sebagian orang, pamali dianggap mengada-ada. Buat yang lain, pamali adalah nasihat yang harus dijalani. Tapi kalau kita lihat dari sudut filsafat ilmu, pamali ternyata menyimpan hal yang seru: bagaimana kita membedakan antara pengetahuan ilmiah dan kepercayaan tradisional, dan kenapa keduanya bisa sama-sama bertahan?


Pamali: Larangan Aneh atau Nasihat Terselubung?


Sekilas, pamali memang terlihat seperti mitos. Tapi kalau kita pikir lagi, banyak pamali punya “pesan tersembunyi” yang masuk akal.


Contohnya:

Duduk di atas bantal → bisulan.


Artinya: jaga kebersihan bantal, jangan dijadikan alas duduk.


Main di sungai saat senja → diambil hantu.


Artinya: senja itu waktu paling rawan—arus bisa deras dan jarak pandang makin gelap.


Pulang terlalu malam → bahaya.


Artinya: lebih aman pulang sebelum larut.


Pesannya sering benar, hanya saja caranya disampaikan lewat cerita mistis supaya orang—terutama anak-anak—lebih nurut.


Jadi, pamali bukan sekadar “jangan-jangan” tanpa alasan, tapi bentuk kearifan lokal yang dibungkus gaya penyampaian khas masyarakat dulu.


Kalau dari Kacamata Ilmu, Pamali Termasuk Ilmiah atau Tidak?


Nah, ini bagian yang masuk ke filsafat ilmu.


Dalam filsafat ilmu, ada pertanyaan penting: apa yang membuat sebuah pengetahuan disebut ilmiah?


Salah satu jawabannya datang dari Karl Popper. Ia bilang, pengetahuan ilmiah adalah yang bisa diuji dan bisa dibuktikan salah (disebut falsifikasi).


Contohnya:


“Air mendidih pada 100°C” bisa diuji.


“Kalau duduk di bantal nanti sial” nggak bisa diuji secara pasti.


Jadi dari sisi ini, pamali memang bukan pengetahuan ilmiah. Ia tidak lahir dari eksperimen atau penelitian.


Tapi… itu tidak berarti pamali tidak punya nilai.


Sains hanya membedakan mana yang ilmiah dan tidak ilmiah—bukan mana yang benar, berguna, atau tidak.


Kalau Bukan Ilmu, Lalu Pamali Itu Apa?


Pamali lebih cocok disebut sebagai pengetahuan budaya.


Masyarakat dulu belajar banyak hal dari pengalaman: mana yang berbahaya, mana yang sopan, mana yang menjaga keharmonisan sosial. Pengetahuan itu lalu dikemas dalam bentuk larangan plus cerita “menyeramkan” supaya lebih mudah diingat.


Dalam ilmu sosial, cara seperti ini disebut rasionalitas budaya—pandangan yang dianggap masuk akal dalam konteks hidup masyarakat pada zamannya.


Jadi walaupun pamali tidak bisa diuji secara ilmiah, ia punya logika dan fungsi sosial yang kuat.


Kenapa Pamali Masih Ada Sampai Sekarang?


Padahal kita sudah hidup di era internet, tapi pamali tetap ada, bahkan tetap diceritakan ulang. Kenapa?


Pamali masih bertahan hingga sekarang karena di dalamnya terkandung nilai moral yang mengajarkan sopan santun dan etika sehari-hari, sementara cara penyampaiannya yang sederhana, sering dibumbui cerita menyeramkan membuatnya mudah diterima terutama oleh anak-anak. Selain itu, pamali sudah menjadi bagian dari budaya dan keluarga, sehingga ketika mendengarnya kita teringat pada nasihat orang tua, nenek, dan tradisi daerah. Tidak sedikit pula pamali yang tetap relevan hingga kini, misalnya larangan keluar terlalu malam atau bermain di tempat berbahaya, yang sebenarnya bertujuan menjaga keselamatan.


Artinya, pamali bertahan bukan karena seramnya, tapi karena fungsinya.


Kita Tidak Harus Memilih antara Mitos atau Sains


Pamali bukan ilmu dalam pengertian modern—itu jelas. Tapi pamali juga bukan sekadar mitos kosong.


Ia bagian dari cara masyarakat menyimpan pengalaman dan nilai-nilai penting. Sains memberi kita penjelasan berdasarkan bukti. Pamali memberi kita penjelasan berdasarkan budaya.


Dan dua-duanya, pada akhirnya, membantu kita menjalani hidup.


Penulis:

Bila Zulfani Lestarie 

Program S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia


Komentar

Tampilkan

  • Antara Mitos dan Sains: Cara Baru Melihat Pamali Lewat Kacamata Filsafat Ilmu
  • 0

Terkini

Topik Populer

Sport