Artikel - Di zaman sekarang, teknologi rasanya sudah menjadi teman yang selalu menempel ke kita. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, ada saja bentuk teknologi yang kita pakai mulai dari ponsel, komputer, AI, sampai aplikasi belajar yang muncul tiap kali kita butuh bantuan cepat. Menariknya, semua kemajuan ini bukan cuma bicara soal alat-alat canggih, tapi juga menyinggung pertanyaan yang lebih dalam dalam filsafat ilmu. Bukan hanya bagaimana teknologi bekerja, tetapi bagaimana ia mengubah cara kita mengenali sesuatu, cara kita berpikir, bahkan cara kita menyelesaikan masalah.
Teknologi Mengubah Cara Kita “Tahu” Sesuatu Dulu, kalau mau tahu suatu fakta, kita harus baca buku, tanya guru, atau melakukan eksperimen sendiri. Sekarang? Tinggal ketik di mesin pencari, lihat simulasi, atau minta bantuan AI. Dalam pelajaran matematika, misalnya, siswa bisa memecahkan soal SPLDV hanya dengan memotret soal lewat aplikasi. Jawaban langsung muncul, lengkap dengan langkah-langkahnya. Tapi di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya:
Kalau teknologi yang mengolah informasi untuk kita, apakah kita benar-benar “mengerti”?
Aplikasi memang bisa memberikan jawaban, tapi kemampuan memahami konsep seperti “Mengapa metode eliminasi bekerja atau apa makna grafik parabola?” itu tetap perlu usaha berpikir, bukan hanya ‘klik’ dan tunggu hasil.
Masalah Objektivitas di Era Big Data
Dalam filsafat ilmu, objektivitas itu penting. Ilmu harus sebisa mungkin bebas dari bias. Nah, masalahnya, teknologi sekarang banyak bergantung pada data, dan data itu isinya manusia. Dan manusia, ya, pasti punya bias.
Contohnya, aplikasi yang memprediksi nilai matematika berdasarkan data tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja hasilnya tidak sepenuhnya akurat dan justru menciptakan gambaran yang keliru tentang kemampuan seorang siswa. Jadinya kita bertanya-tanya:
Teknologi ini benar-benar objektif atau cuma ngulang pola dari manusia sebelumnya?
Teknologi: Penolong Besar atau Bumerang dalam Belajar Matematika?
Dalam pembelajaran matematika, teknologi sangat membantu. Grafik fungsi bisa muncul otomatis, simulasi memperjelas konsep, dan video pembelajaran memudahkan siswa yang butuh penjelasan ulang. Guru pun bisa menilai lebih cepat. Namun, ada sisi lain yang perlu diwaspadai: ketergantungan.
Kalau semua soal diselesaikan aplikasi, konsep dasar bisa hilang.
Banyak siswa tahu rumus luas lingkaran karena aplikasi menghitungkan, tapi tidak tahu kenapa rumusnya seperti itu.
Di sinilah filsafat ilmu mengingatkan:
Ilmu bukan sekadar hasil. Ilmu adalah proses memahami.
Pertanyaan Etika: Sampai Sejauh Mana Teknologi Harus Kita Izinkan?
Karena teknologi makin pintar, muncul juga pertanyaan-pertanyaan baru. Misalnya, apakah adil kalau penilaian kemampuan siswa diserahkan ke algoritma? Atau apakah tepat kalau AI yang menentukan nilai ujian seseorang?
Di sisi lain, teknologi juga bisa membantu banyak orang yang sebelumnya kesulitan mengakses pendidikan. Jadi dua sisinya jelas: ada potensi besar, tapi ada juga tanggung jawab besar. Intinya, teknologi harus tetap berpihak pada manusia, bukan malah bikin jarak makin jauh.
Matematika Sebagai Contoh: Dari Kapur Hingga AI
Dulu guru harus menggambar parabola dengan kapur—mirip seni rupa. Sekarang, satu klik saja sudah muncul grafik 3D yang rapi. Perkembangan ini luar biasa, tapi filsafat ilmu mengajak kita bertanya:
Visualisasi yang canggih itu membuat siswa lebih paham konsepnya, atau hanya terpukau pada tampilannya?
Matematika bukan sekadar angka dan simbol. Ia mengajarkan cara berpikir, membuat keputusan, dan menyusun argumen. Teknologi bisa memperkuat itu, kalau digunakan dengan bijak.
Arah Masa Depan: Manusia Tetap Memegang Kendali
Teknologi pasti terus berkembang. Kita tidak bisa menghentikannya. Tapi filsafat ilmu mengingatkan tiga hal penting:
Tetap kritis. Jangan langsung percaya hasil teknologi tanpa tahu prosesnya.
Seimbangkan antara alat dan pemahaman. Jangan sampai alat menggantikan kemampuan berpikir.
Ingat untuk siapa ilmu dibuat. Teknologi harus bantu manusia tumbuh, bukan membuat manusia makin bergantung.
Penutup
Teknologi membawa banyak manfaat dan memudahkan hampir semua aspek pembelajaran, termasuk matematika. Tapi teknologi bukan jawaban final. Ia hanya alat. Yang menentukan arah tetap manusia.
Filsafat ilmu membantu kita untuk tidak pasif, supaya kita tetap berpikir dan mempertanyakan. Dengan begitu, teknologi bukan hanya menemani kita belajar, tapi benar-benar memperkaya cara kita memahami dunia.
Penulis:
Alycia Rahmah Kamilah Puteri
Program S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
