Iklan

Darurat Epistemologi: Mengapa Kita Lebih Percaya Influencer daripada Pakar?

Senin, 01 Desember 2025, 13.16 WIB Last Updated 2025-12-01T06:16:09Z


Artikel - Notifikasi ponsel berbunyi. Di layar, seorang influencer dengan jutaan pengikut berbicara lantang tentang bahaya bahan kimia dalam air kemasan, atau mungkin tentang konspirasi di balik wabah penyakit. Tanpa menyodorkan data laboratorium, hanya bermodal retorika yang meyakinkan dan wajah rupawan, videonya dibagikan ratusan ribu kali. Kolom komentar penuh dengan kalimat: "Wah, baru tahu! Terima kasih infonya, Kak!"


Sementara itu, di sudut lain internet yang sepi, seorang profesor biologi molekuler mencoba meluruskan kekeliruan tersebut. Ia membawa data, grafik, dan referensi jurnal ilmiah. Hasilnya? Sepi. Kalaupun ada komentar, isinya justru cemoohan: "Ah, teori doang. Profesor ini pasti antek asing."


Selamat datang di era Post-Truth (pasca-kebenaran). Sebuah masa di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih efektif membentuk opini publik daripada fakta objektif. Fenomena ini bukan sekadar masalah kurangnya minat baca, melainkan sebuah krisis yang lebih mendalam: kita sedang mengalami "darurat epistemologi". Ada kerusakan fundamental dalam cara kita membedakan mana ilmu pengetahuan (sains) dan mana yang sekadar asumsi kosong.


Mengapa Sains Membosankan dan Hoax Menyenangkan?


Secara psikologis, manusia mendambakan kepastian. Di sinilah letak masalahnya: sains jarang memberikan kepastian mutlak yang instan. Jika Anda bertanya pada ilmuwan tentang sebuah fenomena baru, jawaban jujur mereka seringkali terdengar ragu: "Kemungkinan besar...", "Data awal menunjukkan...", atau "Kami butuh penelitian lebih lanjut."


Bagi telinga awam, keraguan ini dianggap sebagai ketidaktahuan. Sebaliknya, pseudoscience (sains semu) yang sering dijajakan para pemuka media sosial menawarkan "surga". Mereka bicara dalam hitam dan putih. "Minum ini pasti sembuh", "Vaksin itu racun", "Bumi itu datar". Kalimat-kalimat tegas ini bertindak seperti comfort food bagi otak kita yang malas berpikir rumit.


Kita lebih suka dibohongi dengan kepastian yang menenangkan, daripada disuguhkan kebenaran yang membingungkan. Namun, justru di "kebingungan" itulah letak kekuatan sains yang sebenarnya.


Karl Popper dan Seni "Menyalahkan" Diri Sendiri


Jika kita meminjam kacamata filsuf Karl Popper, kita akan menemukan konsep krusial bernama demarkasi—garis batas yang memisahkan sains dengan non-sains. Popper mengajarkan satu prinsip emas: Falsifikasi.


Menurut Popper, sebuah teori hanya layak disebut ilmiah jika ia membuka diri untuk disalahkan (difalsifikasi). Ilmuwan sejati tidak mencari pembenaran, mereka justru sibuk mencari celah kesalahan pada teori mereka sendiri. Ketika data baru muncul dan meruntuhkan teori lama, ilmuwan bersorak karena pengetahuan manusia baru saja maju selangkah.


Bandingkan dengan apa yang terjadi di media sosial. Para penyebar teori konspirasi dan influencer dadakan seringkali memiliki sifat "kebal falsifikasi". Jika Anda menyodorkan data yang membantah klaim mereka, mereka tidak akan merevisi teorinya. Sebaliknya, mereka akan menuduh datanya dimanipulasi, atau Anda yang sudah dicuci otak.


Di sinilah letak ironinya: Kita sering menuduh ilmuwan "plin-plan" karena merevisi panduan kesehatan (ingat perubahan aturan masker saat pandemi?), padahal revisi itu adalah tanda bahwa sains sedang bekerja. Sebaliknya, kita memuja tokoh yang konsisten dengan pendapatnya meski dunia sudah membuktikan ia salah. Kita menukar skeptisisme ilmiah dengan fanatisme buta.


Matinya Kepakaran di Tangan Algoritma


Masalah ini diperparah oleh pergeseran epistemologi—cabang filsafat yang mempertanyakan "bagaimana kita tahu apa yang kita tahu?". Dulu, epistemologi kita bersandar pada otoritas keilmuan, riset, dan uji coba. Kini, epistemologi kita diserahkan pada algoritma.


Media sosial bekerja dengan prinsip confirmation bias (bias konfirmasi). Jika Anda sekali saja menyukai video tentang "bumi datar", algoritma akan membombardir Anda dengan ribuan video serupa. Anda tidak lagi melihat dunia apa adanya; Anda melihat dunia seperti yang ingin Anda lihat.


Dalam gelembung algoritma ini, terjadilah apa yang disebut Tom Nichols sebagai The Death of Expertise (Matinya Kepakaran). Ini bukan berarti pakar sudah punah, tapi pendapat mereka tidak lagi dihargai. Di kolom komentar, opini seorang remaja yang baru nonton Youtube 5 menit dianggap setara bobotnya dengan analisis dokter spesialis yang sekolah 15 tahun. Demokrasi informasi yang kita banggakan telah kebablasan menjadi anarki pengetahuan.


Menjadi Manusia yang Skeptis


Lantas, apakah kita harus berhenti main media sosial dan kembali bertapa di perpustakaan? Tentu tidak. Solusinya bukan menolak teknologi, melainkan memperbaiki "sistem operasi" di kepala kita.


Kita perlu mengadopsi sikap ilmiah (scientific attitude) dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ilmiah bukan berarti hafal tabel periodik, melainkan pola pikir yang selalu bertanya: "Apakah informasi ini bisa dibuktikan salah?" dan "Dari mana sumber pengetahuannya?"


Saat melihat influencer bicara lantang tentang topik sains, jangan langsung terpesona oleh jumlah like-nya. Jadilah seperti Popper: cari celahnya, tuntut buktinya, dan beranilah untuk ragu.


Di tengah banjir informasi hari ini, keraguan adalah pelampung penyelamat. Percaya pada sains bukan berarti mengimani ilmuwan layaknya nabi yang tak bisa salah, melainkan percaya pada sebuah metode: cara berpikir yang rendah hati, yang mengakui bahwa kebenaran harus terus diuji, bukan sekadar diviralkan.


Saat melihat influencer bicara lantang tentang topik sains, jangan langsung terpesona oleh jumlah like-nya. Jadilah seperti Popper: cari celahnya, tuntut buktinya, dan beranilah untuk ragu.


Di tengah banjir informasi hari ini, keraguan adalah pelampung penyelamat. Percaya pada sains bukan berarti mengimani ilmuwan layaknya nabi yang tak bisa salah, melainkan percaya pada sebuah metode: cara berpikir yang rendah hati, yang mengakui bahwa kebenaran harus terus diuji, bukan sekadar diviralkan.


Penulis:


Muhammad Faishal Faturrahman

S2 Pendidikan Matematika

Universitas Pendidikan Indonesia

Komentar

Tampilkan

  • Darurat Epistemologi: Mengapa Kita Lebih Percaya Influencer daripada Pakar?
  • 0

Terkini

Topik Populer

Sport