Dalam filsafat ilmu, pengetahuan yang benar disebut Keyakinan Benar yang Dibenarkan. Pada masa lalu, anggapan "manusia tak bisa terbang" memenuhi semua syarat keyakinan benar yang dibenarkan: Semua orang yakin, faktanya benar (karena semua orang jatuh), dan dibenarkan oleh ilmu fisika terbaik saat itu (hukum gravitasi). Skeptisisme terhadap penerbangan muncul karena orang-orang membela keyakinan lama ini. Skeptisisme adalah tembok.
Di tengah tembok skeptisisme inilah muncul skeptisisme baru yang mempertanyakan bahwa, “Manusia tak bisa terbang, tetapi kenapa burung bisa terbang? Apakah burung tidak terpengaruhi oleh gravitasi bumi?”. Dalam perkembangannya, lahir para visioner seperti Wright bersaudara. Mereka memiliki keyakinan baru yang radikal: “Kita pasti bisa terbang”. Keyakinan inilah yang menjadi titik awal dalam melawan skeptisisme radikal yang telah lama bersemayam di masyarakat. Keyakinan mereka harus berjuang keras mencari pembenaran (justifikasi) baru: “Bagaimana jika kita menggunakan mesin untuk melawan gravitasi?”. Keyakinan ini menantang pembenaran lama. Ketika mereka berhasil, Keyakinan baru itu beralih statusnya menjadi Pengetahuan baru, menggulingkan pengetahuan lama. Hal ini memperlihatkan bahwa skeptisisme bisa menjadi roda penggerak yang menggeser suatu hal yang dulunya mungkin hanya keyakinan bagi sebagian orang menjadi suatu pengetahuan. Skeptisisme bahwa, “emangnya manusia bisa terbang?” menjadi roda penggerak dalam menggeser status keyakinan bahwa “manusia bisa terbang” menjadi sebuah pengetahuan.
Jika berbicara tentang skeptisisme di bidang pengetahuan dan teknologi, contoh yang pernah kita alami adalah ketika menonton film doraemon, ada banyak alat ajaib yang muncul dan menimbulkan skeptisisme, “emang beneran ada yang kayak gitu?”. Misalnya alat ajaib konyaku penerjemah, jika dilihat dari tanggal rilisnya, alat ajaib ini muncul sejak era anime klasik (1979), cara kerja alat ini adalah dengan menerjemahkan Bahasa asing yang didengar setelah memakan konyaku tersebut. Hal ini memungkinkan dua orang dengan Bahasa yang berbeda dapat berkomunikasi dengan baik. Alat ajaib ini mungkin saja menimbulkan skeptisisme, “emang beneran ada alat yang bisa menerjemahkan otomatis seperti itu?”. Skeptisisme ini lah yang menjadi roda penggerak berkembangnya ilmu pengetahuan. Jika dilihat dari perkembangannya, muncul teknologi dengan konsep yang sama dengan konyaku penerjemah. Teknologi itu adalah google translate, dimana kita bisa menerjemahkan Bahasa asing ke dalam Bahasa yang diinginkan dalam bentuk tulisan. Hal ini terus berkembang hingga kini. Google translate bisa menggunakan fitur suara. Tinggal rekam suara kemudian, voila! Bahasa tersebut bisa diterjemahkan ke Bahasa yang diinginkan meskipun mungkin akan terdapat sedikit kesalahan dalam proses penerjemahan tersebut. Dalam perkembangannya, saat ini kita sudah disuguhkan dengan teknologi penerjemah berbasis AI, berupa timekettle yang muncul pada tahun 2016. Alat ini berupa perangkat seperti earbuds penerjemah yang didukung AI. Alat ini menawarkan terjemahan 2 arah lintas Bahasa. Jadi kita tinggal menggunakan earbuds nya kemudian alat itu akan secara otomatis menerjemahkan percakapan yang sedang berlangsung. Fenomena ini memperlihatkan bahwa adanya pergeseran dari sekedar keyakinan setelah menonton film doraemon bahwa, “kita bisa melakukan percakapan dengan orang asing tanpa harus mempelajari Bahasa orang tersebut” menjadi sebuah pengetahuan berupa AI (artificial intelligent) yang membuktikan bahwa keyakinan itu merupakan suatu hal yang benar dan dibenarkan. Pergeseran ini terjadi berawal dari sebuah skeptisisme, “emang beneran ada alat yang bekerja seperti itu?”.
Skeptisisme adalah pedang bermata dua. Ia tidak hanya membangun kemungkinan baru; ia juga menghancurkan kepastian lama. Justifikasi yang sama juga menggugurkan norma sosial yang telah berakar selama ratusan tahun. Ambil contoh pembagian kerja yang kaku berdasarkan gender. Norma ini dulunya adalah Pengetahuan yang dibenarkan oleh kebutuhan fisik dan efisiensi kerja dalam masyarakat. Namun muncul skeptisisme, "Mengapa perbedaan fisik harus berarti inferioritas intelektual atau moral? Bukankah manusia, terlepas dari jenis kelamin, memiliki kapasitas rasional yang setara?". Jika hanya ditinjau dari perbedaan fisik akan muncul skeptisisme lainnya, "Jika mesin dan teknologi sudah menggantikan kekuatan otot pria, dan jika pekerjaan utama beralih ke sektor jasa dan pengetahuan, mengapa perempuan tetap harus dibatasi perannya?". Ilmu pengetahuan memberikan bukti penggugur mutlak. Penemuan traktor, mesin cuci, komputer, dan pabrik-pabrik modern menjadi petunjuk mutlak bahwa keyakinan ini tidak lagi ditentukan oleh seberapa kuat ia mencangkul, dan pekerjaan domestik wanita tidak lagi mutlak memerlukan tenaga fisik sepanjang hari. Ini menghilangkan pembenaran pragmatis untuk pemisahan peran yang kaku. Kekuatan fisik tidak lagi menentukan kontribusi dalam dunia kerja. Ilmu pengetahuan memberikan bukti penggugur mutlak karena ia menciptakan teknologi yang membunuh kebutuhan fisik dan sistem ekonomi yang membunuh kebutuhan akan pemisahan peran berdasarkan otot. Akibatnya, pembenaran rasional norma itu runtuh, tetapi keyakinannya bertahan karena budaya dan inersia sosial—sekarang ia hanya "sekadar keyakinan."
Ilmu pengetahuan mengajarkan kita bahwa skeptisisme selalu menjadi penguji utama pengetahuan. Ia adalah senjata yang kita gunakan untuk menaklukkan "ketidakmungkinan" (seperti pesawat terbang), dan pada saat yang sama, ia adalah perisai yang harus kita gunakan untuk menggugurkan keyakinan yang sudah usang dan tidak lagi dibenarkan (seperti norma yang kehilangan relevansi). Tugas kita hari ini adalah memiliki keberanian untuk bertanya: “Apakah pengetahuan yang kita yakini hari ini hanyalah 'sekadar keyakinan' yang menunggu untuk diuji dan digugurkan?” atau sebaliknya, “Apakah hal yang dulunya kita anggap tidak mungkin akan menjadi sebuah pengetahuan di masa depan?”. Mungkin saja nantinya skeptisisme kita terhadap pintu kemana saja ataupun mesin waktu menjadi sebuah ilmu pengetahuan di masa depan. Begitulah hakikat dari suatu ilmu, mereka akan terus berkembang. Hal yang dianggap benar hari ini bisa saja mengalami pembantahan di masa mendatang. Begitupun sebaliknya, hal yang hanya menjadi keyakinan bagi sebagian orang atau bahkan mitos bisa menjadi pengetahuan di masa mendatang.
Penulis:
Nama : Azzahra Lady Ashel
Prodi : Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia
