Secara sederhana, induksi adalah proses menarik kesimpulan umum berdasarkan contoh atau pola yang terbatas. Jika selama bertahun-tahun kita melihat bahwa masyarakat cenderung bereaksi negatif terhadap kebijakan tertentu, kita dengan mudah menyimpulkan bahwa fenomena itu akan terus terjadi. Namun sebagaimana Hume tegaskan, generalisasi ini tidak memiliki dasar non-sirkular: kita percaya pola masa lalu mencerminkan masa depan hanya karena... di masa lalu, pola itu memang sering berulang. Inilah inti masalah induksi ketidakmampuan untuk menemukan justifikasi rasional yang kokoh bagi keyakinan bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu.
Dalam konteks sosial, problem ini tampak jelas dalam fenomena seperti stereotip, pola voting politik, atau prediksi perilaku masyarakat di media sosial. Misalnya, jika selama beberapa tahun kita mengamati bahwa kelompok usia tertentu mendukung partai politik tertentu, kita mungkin menyimpulkan bahwa kecenderungan itu akan stabil. Namun pola sosial jauh lebih cair dibanding pola alam; perubahan kecil pada ekonomi, teknologi, atau budaya dapat membalikkan kecenderungan yang sebelumnya stabil. Dengan kata lain, pola sosial tampak stabil hanya sampai suatu krisis atau perubahan sosial besar terjadi sebuah pengingat bahwa induksi sosial selalu rapuh.
Pandangan Karl Popper
Karl Popper mencoba keluar dari perangkap ini dengan gagasan falsifikasi, yaitu bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan melalui penguatan induksi, melainkan melalui upaya aktif membantah hipotesis. Namun dalam fenomena sosial, falsifikasi sering tidak sesederhana di laboratorium. Ketika sebuah prediksi politik gagal, misalnya, masyarakat sering tidak menyimpulkan bahwa teori tentang perilaku pemilih salah. Alih-alih, mereka memodifikasi narasi: “Data survei tidak akurat,” atau “Ada faktor X yang tak terduga.” Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam dunia sosial, pengamatan tidak pernah diterima secara ‘murni’, tetapi selalu ditafsirkan melalui kerangka keyakinan dan kepentingan.
Pandangan Hans Reichenbach
Pendekatan Hans Reichenbach menawarkan cara yang lebih praktis menghadapi masalah induksi. Reichenbach menyatakan bahwa menggunakan induksi tetap rasional meskipun tidak punya dasar epistemik yang kuat. Analogi pendaki gunung yang memotong tali meskipun tidak yakin selamat menggambarkan kondisi kita: dalam dunia sosial yang kompleks, induksi adalah alat terbaik yang kita miliki meskipun tidak sempurna. Tanpa induksi, kita tidak punya cara untuk memprediksi respon masyarakat, merancang kebijakan, atau membaca dinamika sosial. Dengan induksi, setidaknya kita memiliki kesempatan untuk membentuk banyak keyakinan yang benar.
Kesimpulan
Akhirnya, masalah induksi dalam fenomena sosial mengajarkan dua hal penting. Pertama, generalisasi sosial harus selalu bersifat tentatif, terbuka terhadap revisi, dan sadar akan keterbatasan. Kedua, meskipun induksi rapuh secara epistemik, ia tetap menjadi fondasi praktis dalam memahami masyarakat yang terus berubah. Dunia sosial bukan mekanisme yang stabil, tetapi medan dinamis yang menuntut kita terus-menerus menimbang, menguji, dan mengoreksi pola-pola yang kita lihat. Dengan kesadaran ini, kita dapat memanfaatkan induksi secara lebih bijak bukan sebagai kepastian, tetapi sebagai strategi rasional menghadapi ketidakpastian yang tak terhindarkan.
Penulis:
Arfan Hidayatullah
Program : S2 Pendidikan Matematika
